Kampung Rapamerei,
merupakan salah satu Kampung yang masuk dalam wilayah administratif
Pemerintahan Distrik Sawai Kabupaten Mamberamo Raya. Selama tiga minggu, kami
melakukan kunjungan ke wilayah ini, bagaimana kondisi transportasi ke wilayah
ini?
Kampung Rapamerei
berada pada jarak kurang lebih 111 kilometer ke arah timur dari Kota Serui
Kabupaten Kepulauan Yapen atau 100 kilometer arah barat laut dari Kasonaweja
Ibukota Kabupaten Mamberamo Raya. Dari Ibukota Distrik Sawai, Kampung Poiway,
jaraknya 17 kilometer ke arah timur .
Tidak mudah untuk
sampai di Kampung Rapamerei, satu-satunya penghubung ke wilayah ini adalah
melalui jalur transportasi laut dan sungai, baik menggunakan kapal perintis,
kapal kayu ataupun menggunakan speedboat dan longboat dari Serui. Belum adanya
rute khusus transportasi komersial ke wilayah ini, menyebabkan masyarakat
setempat memiliki akses yang sangat terbatas untuk keluar masuk Kampung Rapamerei.
Bukan hanya Kampung
Rapamerei, kampung-kampung tetangga lainnya yang berada dalam satu wilayah
topografi seperti Poiway, Bonoi, Sorabi, Anasi ataupun Tamakuri memiliki
persoalan yang sama, yaitu terbatasnya sarana prasarana transportasi. Persoalan
ini telah melilit masyarakat di wilayah ini selama berpuluh-puluh tahun.
“ Bukan hanya di
kampung ini saja, masyarakat lainnya di Kampung Poiway, Bonoi, Sorabi, Anasi
dan Tamakuri juga kesulitan masalah transportasi. Sudah bertahun-tahun kami
tidak diperhatikan, jadi akses masyarakat dari Kampung-kampung ini untuk ke
kota juga sangat terbatas, hanya orang-orang tertentu yang memiliki speedboat
yang bisa keluar, kalau ada masyarakat yang mau ikut, butuh negosiasi tenggang
rasa,” ujar Pjs Kepala Kampung Rapamerei, Maurits Pameinai.
Akses termurah dan
cepat untuk sampai ke wilayah ini, sementara masih lebih nyaman ditempuh lewat
Kota Serui, baik melalui Kapal Kayu maupun speedboat. Jika menggunakan
speedboat engine 40 PK, waktu tempuh hanya 4 -5 jam, sementara dengan kapal
kayu, waktu yang habis diperjalanan kurang lebih 10-12 jam ( tanpa hambatan ).
Karena tidak ada
rute pasti komersial, jadi kami harus
mencarter speedboat 2 engine 40PK, tidak murah memang, kami harus
membayar Rp 7 juta dari Serui untuk Tujuan Poiway dan Barapasi. Setelah
bermalam di Poiway, paginya kami melanjutkan perjalanan ke Rapamerei, dengan
speedboat lokal, tarifnya Rp 1 Juta hanya untuk Pergi ( tarif tidak menentu,
bisa berubah, tergantung harga BBM setempat dan kebijakan pemilik speedboat
atau motoris).
Jika menggunakan
kapal kayu, biaya sewanya berkisar Rp 6-10 Juta, tetapi pilihan menggunakan
kapal kayu, lebih cocok ketika membawa barang dalam jumlah besar, apakah untuk
kebutuhan bangunan atau untuk kebutuhan lainnya.
Andai saja,
Pemerintah atau pihak swasta yang mengelolah transportasi kapal perintis selalu
konsekuen dan memiliki jadwal pasti dalam melakukan pelayaran ke pelabuhan Kurudu, biayanya mungkin bisa lebih murah,
karena akses dari Kurudu ke Poiway dan Barapasi sangat dekat dan tidak besar
resikonya. Tetapi karena jadwal kapal perintis juga tidak pasti, sehingga
satu-satunya cara yang cepat adalah dengan mencarter speedboat atau Kapal kayu
dari Serui.
“ Kita tidak bisa
harap kapal perintis, orang di Kurudu sendiri saja tidak tahu kapan kapal perintis
masuk, jadi kami yang jauh juga buta soal jadwal masuk kapal perintis yang
tidak jelas itu. Pemerintah Provinsi seharusnya memperhatikan hal ini dengan
baik,” harap Maurits Pameinai.
Perjalanan ke
wilayah ini, bisa juga dilakukan dari Kasonaweja, ibukota Kabupaten Mamberamo
Raya, tetapi costnya sangat tinggi, dibutuhkan paling sedikit 600 liter BBM,
dengan menempuh perjalanan yang beresiko ketika laut dan muara sungai Mamberamo
sedang mengamuk. Sebenarnya pilihan lewat Serui juga tidak seratus persen nyaman,
tetap saja bergantung pada kondisi laut, jika laut tenang, maka kecil
resikonya, jika laut mengamuk, tetap saja berbahaya untuk dilewati, terutama
ketika melewati selat Sasuarai antara pulau Yapen dan Kurudu.
“ Aduh susah kalau
lewat Kasonaweja, kami saja harus pikir dua kali untuk ke Kasonaweja. Bahan
Bakar saja perlu sekitar 3 drum ( 600 liter ), belum lagi pikir keselamatan
jika terpaksa harus lewat laut. Biasanya kami memilih lewat jalur Gesa, itupun
tergantung lagi pada kendaraan perusahaan yang beroperasi di sana, untuk bisa
kami tumpangi agar sampai di Trimuris. Ya, setidaknya kalau lancar bisa dua
hari baru sampai di Kasonaweja,” tandas Maurits.
Transit di Kampung Poiway, Ada yang berbeda
dari kunjungan sebelumnya
Ketika transit di
Kampung Poiway yang merupakan Ibukota dari Distrik Sawai, Kabupaten Mamberamo
Raya, ada pemandangan yang berbeda dari kunjungan sebulan sebelumnya ke Kampung ini. Apa saja perubahan yang
terjadi?
Memasuki pelabuhan
Poiway, tampak tumpukkan batu tela, semen dan kayu balok yang tersusun rapi di
pintu keluar Halte pelabuhan Kampung. Beberapa menit kemudian, terlihat sebuah
mobil pick up hitam Toyota, menuruni sebuah bukit kecil mengikuti jalan yang
menuju ke arah pelabuhan tempat kami berdiri.
“ Mobil Pick up
ini baru didatangkan beberapa minggu lalu oleh CV yang menangani proyek
pembangunan 16 rumah sehat milik masyarakat Kampung Poiway dari bantuan
Pemerintah Kabupaten Mamberamo Raya. Target mereka, akhir tahun ini proyek
tersebut selesai, dan 16 Kepala Keluarga sudah bisa menempati rumah barunya,”
jelas Kaur Pembangunan Kampung Poiway, Obeth Iwanggin.
Obeth menjelaskan,
mengingat jalan Kampung Poiway yang panjangnya sekitar 2 kilometer hanya
memiliki satu pintu masuk, sehingga mereka mendatangkan mobil pick up ini, agar
mampu memobilisasi bahan-bahan bangunan ke tempatnya dengan cepat, agar
pekerjaan juga bisa selesai dengan cepat.
Dengan demikian,
di Kampung Poiway sudah ada dua unit kendaraan pengangkut barang, yaitu Bemo
dan Toyota Pick up.” Karena itu, kami kerahkan masyarakat untuk melakukan
pekerjaan pelebaran jalan, dan dengan jalan yang lebarnya 4 meter ini, maka
mobil Pick up dan Bemo bisa lancar beroperasi,” jelas Obeth.
Selain proyek
pembangunan 16 rumah sehat dari Pemerintah Kabupaten Mamberamo Raya yang dikerjakan
melalui CV, masyarakat di Kampung Poiway juga disibukkan dengan pemasangan
instalasi listrik di semua rumah dan ujicoba mesin pembangkit listrik yang
baru, dari program PNPM Mandiri Respek.
“ Ya, pada tahun
2010 lalu kami usulkan pemasangan instalasi listrik dan pembelian satu unit
mesin pembangkit listrik, namun barangnya baru tiba di Kampung pada bulan ini,
sehingga kami juga baru mau mulai memasang instalasi, dan apabila semua rumah
sudah terpasang sambungan listrik, maka Mesin ini akan dihidupkan,” jelas
Kepala Kampung Poiway, Onesimus Manemi.
Wajah kepala
kampung dan sejumlah masyarakat yang ditemui di lokasi penempatan mesin
pembangkit listrik ini nampak ceria dan begitu bersemangat untuk melihat dengan
segera, mesin yang dibeli dengan harga Rp 70 Juta itu, bisa mengeluarkan suara
gemuruhnya, lalu mengeluarkan tenaganya untuk menerangi kampung mereka.
Kepala Kampung Onesimus Manemi mengaku bangga,
baik kepada Pemerintah Kabupaten Mamberamo Raya, Pemerintah Provinsi Papua dan
Pemerintah Pusat yang telah memberikan perhatian nyata dalam 5 tahun terakhir,
sehingga kampung mereka bisa mengalami kemajuan yang luar biasa.
Kata Ones, bukan
saja fisik yang nyata saat ini, tetapi juga ada bantuan melalui dana
pemberdayaan kampung yang besarnya Rp 200 juta per tahun, dan honor aparat
kampung yang cukup besar, turut memberikan andil dalam perbaikan ekonomi
keluarga, perbaikan pendidikan dan kesehatan bagi anak-anak dan seluruh
masyarakat di Kampung Poiway.
Ones berharap,
perhatian ini hendaknya terus ditingkatkan, terutama ke kampung-kampung
terpencil, sehingga masalah keterbelakangan pembangunan bisa segera
teratasi. Kalaupun ada masalah, selalu
ada evaluasi, sehingga dari tahun ke tahun program ini akan semakin memberikan
gairah bagi kemajuan fisik di kampung, tetapi juga bagi kemajuan masyarakat di
kampung-kampung di seluruh Tanah Papua.
Hutan Mangrove Sebagai Rumah dan Lumbung
Makanan
Dari Kampung
Poiway, kami kemudian melakukan perjalanan ke Kampung Rapamerei menggunakan
satu speedboat dengan satu engine 40PK. Jarak lurus ke Rapamerei dari Kampung
Poiway adalah 17 kilometer ke arah timur, dengan waktu tempuh diperkirakan 30
menit. Bagaimana perjalanan itu?
Melepas pergi
pelabuhan Poiway, selanjutnya yang tampak dihadapan mata kami adalah
pemandangan ekosistem hutan Mangrove atau biasa disebut juga dengan hutan
Bakau. Dari alur sungai yang lebar hingga alur sungai yang sempit bentukkan
populasi mangrove ini, mata hanya memandang satu populasi tanaman, yaitu pohon
mangrove. Meskipun ada pula tanaman lain, namun dominansi mangrove benar-benar
menutupi pandangan kami. Ketika menyusuri alur sungai yang sempit, hidung akan
menerima aroma hutan mangrove yang khas ini.
“ Inilah rumah
makan kami, karena dari sinilah kami bisa dapatkan ikan, buaya, kepiting, kerang,
udang dan sagu yang tidak pernah habis-habis sebagai sumber makanan yang
memberi kehidupan kepada kami masyarakat di sini,” ungkap kepala kampung
Rapamerei, Oddy Pameinai terkiat keberadaan hutan mangrove yang menutupi
wilayah mereka yang luas itu.
Kata Oddy, air
yang tenang dalam wilayah ini ( Hutan Mangrove ) jangan dikira tidak ada sumber
makanan, tinggal siapkan mata kail, nelon atau jala, sudah tidak susah untuk
menikmati ikan, tinggal disesuaikan dengan kemampuan. Demikian halnya dengan
buaya, udang, kepiting dan kerang, semua tersedia melimpah dalam ekosistem
mangrove ini.
Wajah Kampung Berubah Karena PNPM Respek
dan Pemberdayaan Kampung
Setelah 30 menit
perjalanan, akhirnya kami tiba juga di Kampung Rapamerei, tampak di pelabuhan
Rapamerei, sebuah kapal kayu sedang berlabuh. “ Mereka adalah para pedagang
orang bugis makasar yang menjual barang-barang “pecah belah” atau barang-barang
dapur ,” jelas salah satu warga di Kampung Rapamerei.
Ternyata para
pedagang ini mencoba keberuntungannya di Kampung ini dan kampung-kampung
terdekat lainnya, seperti Bonoi yang adalah kampung tetangga dari Rapamerei. “
Sudah 4 hari kami di sini, dan hasilnya
cukup memuaskan, karena separuh barang bawaan kami habis terjual di dua kampung
ini, yakni Rapamerei dan Bonoi,” ungkap salah satu pedagang dari Kapal itu yang ditemui di pelabuhan
Rapamerei.
Dari pelabuhan,
selanjutnya kami berjalan kaki menuju rumah Kepala Kampung yang jaraknya
sekitar 50 meter dari dermaga pelabuhan. Beberapa menit kemudian, tuan rumah
telah menyediakan kopi dan teh hangat. Sambil menikmati segelas kopi hitam di
rumah kepala kampung, kami mulai dengan diskusi lepas tentang pembangunan yang
dilakukan Pemerintah di Kampung Rapamerei.
“ Ya, kami
masyarakat di Kampung ini baru merasakan pembangunan yang nyata itu terjadi
dalam 5 tahun ini, setelah adanya pemekaran Kabupaten Mamberamo Raya. Setelah
masuk Kabupaten Mamberamo Raya, barulah kami mendapat perhatian yang sangat
luar biasa, bukan saja kepada masyarakat, tetapi juga untuk kami aparat kampung,”
jelas Kepala Kampung Rapamerei, Oddy Pameinai.
Oddy mencontohkan
dana pemberdayaan kampung yang dialokasikan Rp 200 Juta/tahun ke Kampungnya,
kemudian ditambah dengan program PNPM Mandiri Respek yang dananya bisa lebih
dari 300 Juta per tahun itu, benar-benar telah mengubah fisik di kampung
mereka, tetapi juga mengubah pesimisme masyarakat menjadi optimisme.
Dengan dana PNPM
Mandiri Respek selama 4 tahun, masyarakat berhasil membangun jalan kampung
sepanjang 3 kilometer dengan kontruksi rabat beton, kemudian membangun
pipanisasi untuk jaringan air bersih ke rumah-rumah, selain itu juga dibangun
32 unit wc pada 32 rumah, pengadaan 32 unit mesin babat rumput bagi 32 kepala
keluarga, pemasangan instalasi listrik dan pengadaan mesin pembangkit tenaga
listrik, serta terakhir tahun 2010 lalu, pengadaan 2 speedboat dengan 2 engine
40 PK.
“ Saya kira
perhatian Pemerintah ke kampung-kampung sudah cukup baik, karena melalui dana
pemberdayaan kampung dan program PNPM Mandiri Respek saja, itu sudah sangat
membantu pembangunan di Kampung. Hanya yang perlu di perhatikan adalah soal
pelayanan pendidikan dan kesehatan serta akses-akses transportasi,” pinta Oddy
Pameinai.
Kata Oddy lagi,
bahwa sudah tiga kali Kampung Rapamerei mengalami tiga masa peralihan
Pemerintahan, mulai dari Kabupaten Yapen Waropen, kemudian Kabupaten Waropen,
dan terakhir tahun 2007, masuk dalam Pemerintahan Kabupaten Mamberamo Raya,
bersamaan dengan dimekarkannya Kabupaten Mamberamo Raya, terpisah dari
Kabupaten Sarmi, dan pada masa inilah, dianggap sebagai masa yang cukup baik
bagi kehidupan masyarakat di Kampung Rapamerei.(a.yomo)