Ayah, diantara mereka yang muda |
Ayah, mencintai tarian tradisional, mengajak generasi muda, agar tidak melupakan seni budayanya |
Sabtu (16/6) pagi itu cuaca
sangat cerah, aku memutuskan untuk pulang kampung ( Desa ) menengok ayah, ibu
serta adik dan beberapa keponakkanku yang lucu-lucu. Karena, semenjak aku
menikah dan sudah bekerja, bersama istri dan anakku, kami menetap di Abepura,
Kota Jayapura, Provinsi Papua, sehingga sangat jarang berkunjung ke kampung
Ayapo,tempat kelahiranku untuk menengok ayah dan ibu, walau hari libur
sekalipun. Padahal, jarak antara tempat tinggalku di Kota dan kampung Ayapo di
pinggiran Danau Sentani, kurang lebih 15 kilometer, dan bisa ditempuh dalam
waktu 30 menit.
Penerimaan sinyal televisi maupun
sinyal telepon seluler sangat baik di kampungku ini, tapi aku sengaja tak
menelepon kedua orangtuaku memberitahukan rencana kedatanganku itu. Hal itu aku
lakukan, karena tidak ingin merepotkan ibu menyiapkan makanan kesukaanku,
karena begitulah kebiasaan ibuku kalau tau aku akan datang.
Aku berangkat sendiri jam 9.00 Wit menggunakan motor beat
kesayanganku menuju Sentani, karena jalan tak begitu ramai dengan kendaraan,
hanya 20 menit, aku tiba di pantai Khalkote, dermaga penyeberangan speedboat ke
kampungku. Karena aku ingin cepat, maka aku mencarter speedboat Rp 50 Ribu
mengantarku ke kampung, dan hanya 10 menit, aku sudah tiba di kampung Ayapo.
Ibuku kaget melihat kedatanganku.
“ Kenapa tidak kase tau (beritahu)
mama, kalau mau ke kampung?seru ibuku, sambil mengeluh, kalau di rumah lagi
tidak ada sagu dan ikan, cuma nasi dan sayur labu yang sudah siap disantap.
Mamaku ngomong begitu, karena tahu,
kalau aku paling suka makan papeda dan ikan, baik yang dibakar atau dikuah
kuningkan.
Bapa di mana?sahutku, lalu mamaku
menjelaskan, kalau Ayahku sedang sibuk mempersiapkan pakaian tarian dan
beberapa bahan dan alat lainnya untuk dipakai seorang penari, saat pementasan
di pembukaan Festival Danau Sentani, Selasa (19/6) yang tinggal dua hari lagi.”
Itu bapa lagi di belakang sana ( belakang rumah ),” seru ibuku. Lalu aku
berjalan melihat apa yang sedang dikerjakan Ayahku, ternyata Ayah sedang
membentuk sebuah cawat atau rumba-rumbai (pakaian bawah penari laki-laki ) yang
terbuat dari kulit kayu yang sudah diurai menjadi tali-tali halus.
Dengan senyumnya yang khas, Ayah melepaskan
pekerjaannya yang sudah hampir selesai itu, dan menatapku.”Mehemakhai khelfa?haugi
waneng?,”tanya Ayahku dengan Bahasa Sentani yang artinya; Bagaimana
anakku(laki-laki), ada sesuatu yang membuat, sampai kamu datang ke kampung?.” Nasong-song yaa...haugibaamm ( Saya cuma
jalan-jalan aja, bukan karena ada sesuatu),” balasku.
Sambil memandang ke arah pakaian
penari yang hampir diselesaikan, Ayah mengungkapkan, kalau bapa akan memimpin
60 penari muda dari kampung untuk meramaikan tarian perang di atas air ( Felabhe ),pada pembukaan Festival
Danau Sentani V di khalkote, Sentani- Papua. karena itu, Ayahku siapkan segala aksesoris
yang akan digunakan pada acara tersebut.
“Tarian perang ( Felabhe) ini,
akan diikuti oleh ratusan penari dari 24 kampung ( desa ) di Danau Sentani, dan
kita dari kampung Ayapo akan mengikutsertakan 60 penari muda, yang terdiri dari
pelajar SMP dan SMA, bapa sudah cek kesiapan semua peserta, mereka siap tampil
dan mempersembahkan yang terbaik, demi budaya Sentani ini tetap lestari,”ujar
Ayahku.
Kata Ayahku, tarian ini(felabhe)
memang sudah lama tidak diangkat, jadi ini merupakan kesempatan yang baik bagi
kita orang tua, untuk menunjukkan kepada anak muda generasi baru yang ada di
danau sentani, bahwa inilah tarian kita, tarian perang yang memiliki semangat
luar biasa, yang dapat mengalahkan lawan-lawan, dan semangat inilah yang harus terus
terpatri di dada generasi muda, untuk tetap menjaga dan melestarikan budaya
kita. Setelah berdiskusi dengan Ayah dan Ibu, serta bercanda ria dengan dua
keponakkanku, aku minta pamit untuk kembali ke kota, lalu Ayah berpesan, agar
pada pembukaan FDS V, dapat meluangkan waktu untuk menyaksikan atraksi demi atraksi
yang akan dipersembahkan oleh orang-orang Sentani.
Pada Selasa(19/6), jam di dinding
menunjukkan pukul 08.45 Wit, aku berangkat dari Abepura menuju Sentani, dan
tiba jam 9.15 Wit di pantai Khalkote, pusat kegiatan FDS V. Seremonial
pembukaan belum mulai, tetapi pantai khalkote itu sudah dipadati masyarakat
dari berbagai tempat, berbagai daerah, berbagai suku dan beberapa turis dari
luar negeri.
Tepat jam 10.00 Wit, seremonial
pembukaan FDS V dimulai, diawali oleh laporan Ketua Panitia, kemudian
dilanjutkan sambutan seorang kepala suku dari sentani, setelah itu, sambutan
penjabat Bupati Kabupaten Jayapura, dan sambutan terakhir disampaikan oleh
Menteri Pariwisata Indonesia yang diwakili oleh salah satu Dirjennya, sekaligus
membuka dengan resmi dimulainya Festival danau Sentani V itu.
Siang itu, matahari bersinar
terlalu terik. Namun hal itu tak menyurutkan semangat warga di sekitar Danau
Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, untuk melangsungkan Felabhe. Tari perang
ini menjadi pembuka Festival Danau Sentani 2012. Salah satu alasan mereka
memenuhi tempat ini adalah Felabhe. Ini adalah tari perang khas masyarakat di
sekitar Danau Sentani.
Seorang penyanyi mulai
melantunkan lagu adat berirama menghentak. Awalnya, pandangan saya tertuju pada
seorang pemimpin perang yang mengenakan Khombou, pakaian adat Papua dengan rok
berbahan jerami. Sang pemimpin perang membawa tombak panjang, berjalan di
jembatan sambil menghentakkan kaki sesuai irama.
Tiba-tiba, muncullah kapal-kapal
dari kejauhan. Ada sekitar 7-8 kapal yang membelah Danau Sentani, menuju ke
arah para penonton di Kalkhote. Ada lebih dari 500 orang yang memenuhi
kapal-kapal itu. Mereka berasal dari 24 desa berbeda di sekitar Danau Sentani.
Kapal-kapal itu seluruhnya berisi
pria, yang juga mengenakan Khombou. Ada yang membawa tombak, ada pula yang
memegang busur panah. Mereka ikut menyanyi lagu adat, mengarahkan busur panah
ke berbagai arah. Lalu sinar matahari yang sangat terik itu menjadi salah satu
bagian perpaduan yang apik: tarian, nyanyian, danau, langit biru, serta
bukit-bukit hijau yang melatarbelakangi mereka semua. Indah.
Satu per satu kapal bersandar ke
jembatan. Para pasukan perang pun turun dan mulai melakukan gerakan yang sama
dengan sang pemimpin: menyanyi sambil menghentakkan kaki. Rupanya tak hanya lelaki
dewasa, tapi juga anak-anak yang sangat lucu dan sumringah, mengacung-acungkan
tombak kayu sesuai ukuran tubuh mereka.
Jembatan kayu itu lalu penuh oleh
para pasukan perang. Dengan aba-aba, mereka berlari menuju depan panggung utama
yang sebelumnya digunakan untuk pembukaan FDS. Sambil menyanyi dan menari,
mereka membentuk barisan. Irama lagu pun semakin lama semakin cepat. Mereka
menari cukup lama, sekitar setengah jam.
Dalam salah satu barisan para
penari itu, mataku menangkap salah seorang pria paruh bayah yang umurnya 57
tahun, kepalanya gundul, mengenakan anyaman daun kelapa muda melingkari kepala.
Mukanya dicoret-coret dengan arang, demikian pula di badannya, dan mengenakan
khombou, serta ditangannya memegang busur dan sebuah anak panah dari kayu, bergoyang
sambil menyanyikan lagu khas untuk felabhe yang seirama dengan 500 penari
lainnya. Ternyata, pria paruh baya itu adalah Ayahku,seorang pria tua yang
berada diantara 60 penari muda dari kampung kami.Seperti tak merasakan pilunya
sengatan matahari, ayahku tetap bersemangat hingga bermandikan keringat.
Aku tertegun melihat penampilan
Ayahku yang begitu luar biasa, bersemangat dan tidak mengenal lelah, tidak
merasakan perihnya sengatan matahari. Namun, yang ada diwajah Ayahku adalah
berbagi senyum dengan penari lainnya, seperti sedang bermain-main dalam sebuah
latihan perang. Luar biasa Ayahku, diantara mereka yang muda, tetap
bersemangat, mencintai budaya dan seni tari tradisional kita. Dalam hati, aku
katakan, Aku bangga padamu Ayah.
Para wisatawan tak menyia-nyiakan
hal ini dengan cara berfoto bersama. Para penari pun dengan ramah meminjamkan
tombak atau busur panah mereka. Saat aba-aba kembali diteriakkan, mereka semua
kembali berlari ke jembatan.
"Sekali pun aku mati, aku
tak akan menyesal jadi orang Sentani!" teriak penyanyi yang memberi
aba-aba barusan. Kalimat yang diteriakkan itu berhasil jadi suplemen bagi para
pasukan perang. Mereka semakin semangat menari, walaupun matahari semakin
terik. Di tengah siksaan matahari itu, seketika saya merinding.
Tapi tunggu dulu, rupanya Felabhe
belum selesai. Setelah kembali berbaris di jembatan, kapal-kapal lain datang
dari kejauhan. Setelah kapal-kapal itu mendekat, saya pun sadar kalau isinya
semua perempuan!
Rupanya tarian perang ini
berakhir dengan sukacita. Para pasukan yang memenangkan perang lalu dijemput
oleh wanita-wanita terkasihnya, yang mengenakan Khombou dan membawa balon
warna-warni di tiap kapal. Balon warna-warni itu pun dilepas ke udara, pertanda
kebahagiaan di akhir cerita.
Para pengunjung bersorak-sorai.
Tak ada yang menyangka, sebuah tarian perang berujung bahagia layaknya dongeng.
Namun, Felabhe menyiratkan
sebuah makna bahwa masyarakat
Sentani telah berhasil melewati masa-masa sulit hingga sekarang disambut dengan
sukacita oleh seluruh dunia. Tari perang yang gagah ini berhasil membuat
wisatawan tepuk tangan cukup lama.( alberth yomo)