Setelah hampir seminggu tertahan di Dabra ( 25 Maret – 1 April ), tanggal 29 Maret pukul 10.15 Wit, kami bertolak dari Dabra 1 menuju Taria, lewat Baso 1, menggunakan perahu cole-cole yang panjangnya sekitar 17 meter dan lebar kurang lebih 40-50 cm itu yang digandeng dengan mesin 10 PK ( Ketinting ). Dalam perahu itu, ada 5 orang, Jhon Dude selaku motoris, Audy, Aser, Gotlif, dan aku sendiri serta ditambah dengan barang-barang bawaan kami.
Perahu itu awalnya melaju menyusuri tepi pinggir sungai Taritatu, beberapa menit kemudian, pemukiman Kampung Dabra 1 mulai lenyap dari pandangan kami, aku mulai merasakan derasnya arus sungai Taritatu, terasa perjalanan kami begitu lambat, meskipun telinga ini menjadi tuli oleh kerasnya bunyi mesin ketinting yang dipompa kencang melawan arus, tapi aku merasa seakan-akan tidak ada pergerakan ke depan, kami sepertinya sedang berlabuh dan sedang dihanyutkan oleh arus.
Beberapa jam kemudian, kami mulai merasakan pedisnya sengatan matahari yang terasa membakar kulit, masing-masing kami mencari sesuatu yang bisa dipakai untuk melindungi tubuh dari sengatan terik matahari. Audy mengambil tikar, menutup kepalanya, Gotlif membuka baju luarnya dan menyisahkan baju dalam, Aser memilih berbaring dan hanya melindungi matanya dengan siku tangan, Jhon Dude juga melepas bajunya tinggal telanjang dada, kemudian menggantungkan bajunya dipundak kiri, sementara tangan kanannya tetap memegang dayung yang membantu mengemudi dan mengarahkan haluan perahu. Beberapa kali Gotlif menimba air sungai Taritatu, kemudian membasahi kepala dan tubuhnya untuk melawan sengatan matahari.
Beberapa jam kemudian, bensin dalam tangki ketinting habis, kami berhenti sejenak, kemudian mengisi full tangki ketinting dan kembali melanjutkan perjalanan. Tepat jam 16.00 Wit, kami tiba di muara kali Dabre,kemudian menyusuri kali Dabre menuju Baso 1, tepat jam 18.30 Wit, kami tiba di Kampung Baso 1, yang disambut hangat beberapa warga yang nampak sudah saling kenal, setelah beberapa saat bercanda ria dan menghangatkan tubuh dengan segelas kopi bersama warga, kamipun kemudian bermalam di rumah milik Kepala Kampung Baso yang ditinggal kosong.
Paginya, tanggal 30 Maret, bersama Jhon Dude, kami mengantarkan Aser dan Audy menuju Baso II, keluar dari pelabuhan Baso 1, jam 10 pagi, tiba di Baso II jam 14.00, setelah itu, aku dan Jhon Dude, kembali lagi ke Baso 1, kami tiba di Kampung Baso 1, jam 17.30 Wit. Karena tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan ke Taria, akhirnya kami putuskan untuk bermalam lagi di Baso 1.
Selanjutnya, pada tanggal 31 Maret, pukul 08.00 Wit, Aku,Gotlif dan Jhon Dude kembali meneruskan perjalanan menuju Taria yang jaraknya kurang lebih 50 Km ke arah selatan dari Kampung Baso 1. Hanya butuh waktu 1 jam untuk keluar dari pelabuhan Baso 1 menyusuri kali Dabre dan keluar ke muara, selanjutnya menyusuri sungai Taritatu. Sekitar pukul 11.30 Wit, kami tiba di muara kali Taria, kemudian masuk menyusuri kali taria.
Awalnya kami menyusuri kali taria dengan mulus, namun ketika semakin jauh dari muara, kurang lebih 1 jam dari muara, kami menemui kendala, di hadapan kami terlihat timbunan kayu yang menutup jalur sungai, mesin ketinting dimatikan, beberapa saat kami terpaku melihat tumpukan sampah kayu yang ada dihadapan kami, sangat tidak mungkin untuk kami membersihkan timbunan itu dan melaluinya. Kami mencari jalan alternative, kami menemukan ada bekas ranting yang baru dipotong, kami mengikuti bekas tersebut dengan dayung dan membantu menarik beban perahu dengan bantuan ranting pohon yang dapat dijangkau. Setelah keluar dari tempat tumpukan kayu tersebut, ketinting kembali dihidupkan, dan perjalanan kembali dilanjutkan. Kami kembali ketimpa sial, baru beberapa saat keluar dari tumpukan kayu yang menutup jalur sungai, kami diperhadapkan lagi dengan pemandangan yang sama. Namun kali ini tidak ada jalan alternative, kami terpaksa bekerja keras dengan memindahkan batang kayu yang menghambat jalan perahu dan membantu mendorong dengan menarik batang tebu air. Setelah bekerja keras selama 30 menit,akhirnya kami keluar dari masalah itu, dan kembali menghidupkan ketinting, meski sempat terkandas pada batang pohon yang tersembunyi di dalam air, namun hal itu segera kami atasi dan terus melanjutkan perjalanan.
Ketika waktu mulai menunjukkan jam 14.00 Wit, kami melihat beberapa warga masyarakat yang sedang menokok sagu, lalu kami berhenti sejenak di salah satu bevak, nampak seorang Bapak, yang diketahui bernama Sokrates Barusa warga Kampung Taria, sedang meng- asar ikan bersama Istri dan 3 orang anaknya. Setelah menyapa mereka dan menanyakan posisi pelabuhan taria yang berjarak kurang lebih sekitar 15 Km, kami dibekali dengan beberapa ekor ikan, dan kembali melanjutkan perjalanan.
Setelah melalui sekitar 7 bevak, daya dorong perahu terasa mulai berat, arus kali taria juga terasa kian kuat, walau menyadari hal itu, tapi kami tetap memaksa, akhirnya hal yang kami kuatirkan terjadi, sekitar jam 15.30 Wit, baling-baling ketinting kami terlepas dan hilang terbawa arus, akibat tersangkut pada tebu air yang melintang di dalam kali taria. Tidak ada baling-baling cadangan, terpaksa kami turun dari perahu lalu bahu membahu menarik dan mendorong perahu melawan arus.
Hampir 3 jam kami berjuang melawan arus dengan menarik perahu dengan harapan segera mendapat pelabuhan Taria, tapi hal itu tidak terjadi, karena gelap sudah menutupi pemandangan kami, akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat melepaskan kelelahan dengan bermalam di sekitar bantaran kali taria.
Setelah menghangatkan badan dengan kopi, kami kemudian beristirahat, namun lagi-lagi ketimpa sial, sekitar pukul 23.00 Wit, hujan deras mengguyur, kami hanya bisa berlindung di bawah ranting pohon kering yang sudah roboh dengan beratapkan mantel hujan, sementara barang-barang bawaan kami telah diamankan dalam plastic sampah. Hujan deras itu ditambah dengan serangan nyamuk, membuat kami benar-benar kewalahan, dan tidak dapat tidur hingga pagi.
Pagi harinya, tanggal 1 April, walau dalam keadaan fisik yang lelah, kami tetap bersemangat untuk melanjutkan perjalanan. Saat itulah, musibah hamper saja menimpa kami, saat berusaha untuk menyeberangkan perahu ke pinggir kali di seberang, perahu kami terhempas dengan kencang oleh arus, walau kami berusaha dengan melompat dan menarik, tapi justru kami ikut terhempas, beruntung Jhon Dude dengan sigap melompat ke tepi yang aman dan menarik sekuat tenaga perahu itu, akhirnya kami selamat tiba di tepi meskipun sepatu boat aku menjadi korban, kemudian melanjutkan perjalanan dengan mendorong perahu menyusuri kali Taria yang arusnya semakin kencang.
Setelah 1 Km perjalanan dari lokasi itu, kami menemui sejumlah warga masyarakat, lalu meminta petunjuknya tentang lokasi pelabuhan, ternyata jarak pelabuhan sudah berada sekitar 500 meter lagi, kamipun bersemangat, kemudian beberapa saat, akhirnya berhasil masuk di pelabuhan Taria.
Karena kami bertiga baru pertama kali mengunjungi Kampung Taria, sehingga tidak mengetahui dengan pasti posisi Kampung yang sebenarnya, awalnya kami berpikir, lokasi kampung dekat dengan pelabuhan, ternyata perkiraan itu salah, setelah berjalan memikul beban menyusuri hutan sejauh 4 Km, barulah kami tiba di pemukiman Kampung Taria,jam 14.00 Wit. Rencana kembali mengambil sisa barang di pelabuhan tidak mampu lagi kami lakukan, kemudian kami meminta bantuan masyarakat untuk mengambilnya. Saat itu kami merasakan keletihan yang sangat luar biasa, tanpa membereskan barang dan membersihkan rumah, langsung merebahkan badan dilantai papan melepaskan kelelahan itu, huuf…cape deehhh.
Sekedar diketahui, Kampung Taria, secara geografis berjarak kurang lebih 200 KM arah barat daya dari Bandar udara Sentani, yang dapat ditempuh dalam waktu kurang dari dua jam menggunakan pesawat jenis cesna, Pilatus hingga jenis Caravan. Sementara menggunakan transportasi air, dapat ditempuh dalam waktu 4- 6 hari perjalanan dari pelabuhan Jayapura, menggunakan kapal perintis dengan tujuan pelabuhan Trimuris atau Kasonaweja, Ibukota Kabupaten Mamberamo Raya. Setelah itu, dari Trimuris, menggunakan speed boad tujuan Dabra melalui sungai Mamberamo, dan selanjutnya dari Dabra menuju pelabuhan Taria bisa ditempuh dengan menggunakan perahu kole-kole yang digandeng dengan engine 15 PK atau mesin 10 PK ( ketinting ).
Jarak garis lurus Dabra - Taria adalah 33,5 Km, sementara jarak perjalanan ( Lap Distance ) dengan menyusuri sungai adalah kurang lebih 91,9 Km. Jika menggunakan mesin 10 PK( Ketinting )dari Dabra menuju Taria, perjalanan tersebut dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 15 jam ( tanpa hambatan ) dengan kebutuhan BBM 15 liter, sebaliknya dari Taria menuju Dabra, waktu yang diperlukan adalah 7 jam ( tanpa hambatan ), BBM 10 liter. Waktu perjalanan kemungkinan akan semakin singkat jika menggunakan Engine 15 atau 40 PK, namun dengan kondisi sungai taria yang mengalami pasang surut dan dangkal, akan menjadi hambatan bagi pengguna motor temple 15 atau 40 PK. (yomo)
Perahu itu awalnya melaju menyusuri tepi pinggir sungai Taritatu, beberapa menit kemudian, pemukiman Kampung Dabra 1 mulai lenyap dari pandangan kami, aku mulai merasakan derasnya arus sungai Taritatu, terasa perjalanan kami begitu lambat, meskipun telinga ini menjadi tuli oleh kerasnya bunyi mesin ketinting yang dipompa kencang melawan arus, tapi aku merasa seakan-akan tidak ada pergerakan ke depan, kami sepertinya sedang berlabuh dan sedang dihanyutkan oleh arus.
Beberapa jam kemudian, kami mulai merasakan pedisnya sengatan matahari yang terasa membakar kulit, masing-masing kami mencari sesuatu yang bisa dipakai untuk melindungi tubuh dari sengatan terik matahari. Audy mengambil tikar, menutup kepalanya, Gotlif membuka baju luarnya dan menyisahkan baju dalam, Aser memilih berbaring dan hanya melindungi matanya dengan siku tangan, Jhon Dude juga melepas bajunya tinggal telanjang dada, kemudian menggantungkan bajunya dipundak kiri, sementara tangan kanannya tetap memegang dayung yang membantu mengemudi dan mengarahkan haluan perahu. Beberapa kali Gotlif menimba air sungai Taritatu, kemudian membasahi kepala dan tubuhnya untuk melawan sengatan matahari.
Beberapa jam kemudian, bensin dalam tangki ketinting habis, kami berhenti sejenak, kemudian mengisi full tangki ketinting dan kembali melanjutkan perjalanan. Tepat jam 16.00 Wit, kami tiba di muara kali Dabre,kemudian menyusuri kali Dabre menuju Baso 1, tepat jam 18.30 Wit, kami tiba di Kampung Baso 1, yang disambut hangat beberapa warga yang nampak sudah saling kenal, setelah beberapa saat bercanda ria dan menghangatkan tubuh dengan segelas kopi bersama warga, kamipun kemudian bermalam di rumah milik Kepala Kampung Baso yang ditinggal kosong.
Paginya, tanggal 30 Maret, bersama Jhon Dude, kami mengantarkan Aser dan Audy menuju Baso II, keluar dari pelabuhan Baso 1, jam 10 pagi, tiba di Baso II jam 14.00, setelah itu, aku dan Jhon Dude, kembali lagi ke Baso 1, kami tiba di Kampung Baso 1, jam 17.30 Wit. Karena tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan ke Taria, akhirnya kami putuskan untuk bermalam lagi di Baso 1.
Selanjutnya, pada tanggal 31 Maret, pukul 08.00 Wit, Aku,Gotlif dan Jhon Dude kembali meneruskan perjalanan menuju Taria yang jaraknya kurang lebih 50 Km ke arah selatan dari Kampung Baso 1. Hanya butuh waktu 1 jam untuk keluar dari pelabuhan Baso 1 menyusuri kali Dabre dan keluar ke muara, selanjutnya menyusuri sungai Taritatu. Sekitar pukul 11.30 Wit, kami tiba di muara kali Taria, kemudian masuk menyusuri kali taria.
Awalnya kami menyusuri kali taria dengan mulus, namun ketika semakin jauh dari muara, kurang lebih 1 jam dari muara, kami menemui kendala, di hadapan kami terlihat timbunan kayu yang menutup jalur sungai, mesin ketinting dimatikan, beberapa saat kami terpaku melihat tumpukan sampah kayu yang ada dihadapan kami, sangat tidak mungkin untuk kami membersihkan timbunan itu dan melaluinya. Kami mencari jalan alternative, kami menemukan ada bekas ranting yang baru dipotong, kami mengikuti bekas tersebut dengan dayung dan membantu menarik beban perahu dengan bantuan ranting pohon yang dapat dijangkau. Setelah keluar dari tempat tumpukan kayu tersebut, ketinting kembali dihidupkan, dan perjalanan kembali dilanjutkan. Kami kembali ketimpa sial, baru beberapa saat keluar dari tumpukan kayu yang menutup jalur sungai, kami diperhadapkan lagi dengan pemandangan yang sama. Namun kali ini tidak ada jalan alternative, kami terpaksa bekerja keras dengan memindahkan batang kayu yang menghambat jalan perahu dan membantu mendorong dengan menarik batang tebu air. Setelah bekerja keras selama 30 menit,akhirnya kami keluar dari masalah itu, dan kembali menghidupkan ketinting, meski sempat terkandas pada batang pohon yang tersembunyi di dalam air, namun hal itu segera kami atasi dan terus melanjutkan perjalanan.
Ketika waktu mulai menunjukkan jam 14.00 Wit, kami melihat beberapa warga masyarakat yang sedang menokok sagu, lalu kami berhenti sejenak di salah satu bevak, nampak seorang Bapak, yang diketahui bernama Sokrates Barusa warga Kampung Taria, sedang meng- asar ikan bersama Istri dan 3 orang anaknya. Setelah menyapa mereka dan menanyakan posisi pelabuhan taria yang berjarak kurang lebih sekitar 15 Km, kami dibekali dengan beberapa ekor ikan, dan kembali melanjutkan perjalanan.
Setelah melalui sekitar 7 bevak, daya dorong perahu terasa mulai berat, arus kali taria juga terasa kian kuat, walau menyadari hal itu, tapi kami tetap memaksa, akhirnya hal yang kami kuatirkan terjadi, sekitar jam 15.30 Wit, baling-baling ketinting kami terlepas dan hilang terbawa arus, akibat tersangkut pada tebu air yang melintang di dalam kali taria. Tidak ada baling-baling cadangan, terpaksa kami turun dari perahu lalu bahu membahu menarik dan mendorong perahu melawan arus.
Hampir 3 jam kami berjuang melawan arus dengan menarik perahu dengan harapan segera mendapat pelabuhan Taria, tapi hal itu tidak terjadi, karena gelap sudah menutupi pemandangan kami, akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat melepaskan kelelahan dengan bermalam di sekitar bantaran kali taria.
Setelah menghangatkan badan dengan kopi, kami kemudian beristirahat, namun lagi-lagi ketimpa sial, sekitar pukul 23.00 Wit, hujan deras mengguyur, kami hanya bisa berlindung di bawah ranting pohon kering yang sudah roboh dengan beratapkan mantel hujan, sementara barang-barang bawaan kami telah diamankan dalam plastic sampah. Hujan deras itu ditambah dengan serangan nyamuk, membuat kami benar-benar kewalahan, dan tidak dapat tidur hingga pagi.
Pagi harinya, tanggal 1 April, walau dalam keadaan fisik yang lelah, kami tetap bersemangat untuk melanjutkan perjalanan. Saat itulah, musibah hamper saja menimpa kami, saat berusaha untuk menyeberangkan perahu ke pinggir kali di seberang, perahu kami terhempas dengan kencang oleh arus, walau kami berusaha dengan melompat dan menarik, tapi justru kami ikut terhempas, beruntung Jhon Dude dengan sigap melompat ke tepi yang aman dan menarik sekuat tenaga perahu itu, akhirnya kami selamat tiba di tepi meskipun sepatu boat aku menjadi korban, kemudian melanjutkan perjalanan dengan mendorong perahu menyusuri kali Taria yang arusnya semakin kencang.
Setelah 1 Km perjalanan dari lokasi itu, kami menemui sejumlah warga masyarakat, lalu meminta petunjuknya tentang lokasi pelabuhan, ternyata jarak pelabuhan sudah berada sekitar 500 meter lagi, kamipun bersemangat, kemudian beberapa saat, akhirnya berhasil masuk di pelabuhan Taria.
Karena kami bertiga baru pertama kali mengunjungi Kampung Taria, sehingga tidak mengetahui dengan pasti posisi Kampung yang sebenarnya, awalnya kami berpikir, lokasi kampung dekat dengan pelabuhan, ternyata perkiraan itu salah, setelah berjalan memikul beban menyusuri hutan sejauh 4 Km, barulah kami tiba di pemukiman Kampung Taria,jam 14.00 Wit. Rencana kembali mengambil sisa barang di pelabuhan tidak mampu lagi kami lakukan, kemudian kami meminta bantuan masyarakat untuk mengambilnya. Saat itu kami merasakan keletihan yang sangat luar biasa, tanpa membereskan barang dan membersihkan rumah, langsung merebahkan badan dilantai papan melepaskan kelelahan itu, huuf…cape deehhh.
Sekedar diketahui, Kampung Taria, secara geografis berjarak kurang lebih 200 KM arah barat daya dari Bandar udara Sentani, yang dapat ditempuh dalam waktu kurang dari dua jam menggunakan pesawat jenis cesna, Pilatus hingga jenis Caravan. Sementara menggunakan transportasi air, dapat ditempuh dalam waktu 4- 6 hari perjalanan dari pelabuhan Jayapura, menggunakan kapal perintis dengan tujuan pelabuhan Trimuris atau Kasonaweja, Ibukota Kabupaten Mamberamo Raya. Setelah itu, dari Trimuris, menggunakan speed boad tujuan Dabra melalui sungai Mamberamo, dan selanjutnya dari Dabra menuju pelabuhan Taria bisa ditempuh dengan menggunakan perahu kole-kole yang digandeng dengan engine 15 PK atau mesin 10 PK ( ketinting ).
Jarak garis lurus Dabra - Taria adalah 33,5 Km, sementara jarak perjalanan ( Lap Distance ) dengan menyusuri sungai adalah kurang lebih 91,9 Km. Jika menggunakan mesin 10 PK( Ketinting )dari Dabra menuju Taria, perjalanan tersebut dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 15 jam ( tanpa hambatan ) dengan kebutuhan BBM 15 liter, sebaliknya dari Taria menuju Dabra, waktu yang diperlukan adalah 7 jam ( tanpa hambatan ), BBM 10 liter. Waktu perjalanan kemungkinan akan semakin singkat jika menggunakan Engine 15 atau 40 PK, namun dengan kondisi sungai taria yang mengalami pasang surut dan dangkal, akan menjadi hambatan bagi pengguna motor temple 15 atau 40 PK. (yomo)
No comments:
Post a Comment