|
Ab Yomo |
“Kaka, jadi wartawan itu enak e…, bisa berangkat kemana-mana, punya kenalan banyak, dekat dengan pejabat dan pastinya punya banyak uang”. Ha???siapa yang bilang kalau wartawan itu enak?apanya yang enak? “Teman saya kan wartawan, dia sering ikut Gubernur Papua ke luar daerah, seluruh Kabupaten di Papua ini sepertinya dia sudah injak. Dia juga sering ke Jakarta, pokoknya dia itu macam pejabat sudah, tinggal berangkat terus”.
Jadi?ko juga mau jadi wartawan kah?”ae kaka, tapi saya tidak bisa tulis berita, biar saya kerja di kantor saja” Masa sarjana baru tidak bisa tulis berita?” ae…itu lagi….”baru ko punya skripsi siapa yang buat? ” ada orang yang buat lalu saya bayar, saya cuma terima jadi saja”. Haa?tapi bagaimana mungkin ko bisa lolos dari ujian komprehensip, ujian skripsi atau lolos dari para dosen penguji? “Ae kaka, sudah ko stop tanya-tanya sudah”hmm…Lalu kenapa ko tanya-tanya soal wartawan? “Ah trada kaka, cuma tanya saja, kaka macam tratau saja…”ohhh, jadi ko punya pacar itu seorang wartawan too, bilang dong dari tadi….
Begini ade manis, su bagus sudah ko pacar dengan wartawan, tapi ko perlu tau, kalau wartawan itu adalah sebuah profesi, dengan kata lain, wartawan adalah seorang profesional. Dalam menjalankan profesinya, seorang wartawan harus dengan sadar menjalankan tugas, hak, kewajiban dan fungsinya yakni mengemukakan apa yang sebenarnya terjadi. Bukan hanya itu, seorang wartawan harus turun ke lapangan untuk meliput suatu peristiwa yang bisa terjadi kapan saja.
Bahkan, wartawan kadangkala harus bekerja menghadapi bahaya untuk mendapatkan berita terbaru dan original. Selain itu wartawan harus mematuhi kode etik jurnalistik, misalnya wartawan tidak menyebarkan berita yang bersifat dusta, fitnah, sadis dan cabul serta tidak menyebutkan identitas korban kejahatan susila. wartawan menghargai dan menghormati hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar, wartawan tidak dibenarkan menjiplak, wartawan tidak diperkenankan menerima sogokan, dan sebagainya.
“Oh, jadi mereka berangkat-berangkat keluar daerah, lalu diberikan uang, itu namanya sogokan kah?”Tidak, itu merupakan upah yang mereka terima, dari tugas peliputan di luar. Di Instansi Pemerintah itu ada istilah perjalanan dinas, dan itu ada anggarannya. Nah anggaran perjalanan dinas itu yang diberikan juga kepada wartawan yang ikut. “Anggarannya besar kah?” ya, lumayan besar, bayangkan perjalanan ke daerah saja, satu wartawan yang diajak bisa dapat antara 2 sampai 3 juta rupiah. Kalau ke Jakarta malah bisa lebih, sampai 5 juta rupiah.
“Hmmm…pantasan, saya punya teman itu tinggal ganti Hand Phone baru terus” Bukan Cuma wartawan yang ganti HP baru, pejabat di Pemerintahan juga begitu. Parahnya, bukan hanya HP baru, tapi bisa juga ganti nomor baru dan “gandengan baru”. “Aduh kaka, jangan kah…jangan sampai dia kase tinggal saya”.Siapa suruh pacar dengan wartawan…
Tapi itu benar, karena dana perjalanan dinas itu besar, makanya para pegawai dan pejabat di Pemerintahan itu berlomba-lomba bikin perjalanan dinas ke luar daerah, termasuk para wartawan yang meliput di Pemerintahan juga berlomba-lomba tunjuk diri, lakukan pendekatan dengan pejabat pemerintah, supaya bisa dapat bagian dari dana perjalanan dinas yang besar itu. Karena dana perjalanan dinas yang besar itu, akhirnya para wartawan yang biasanya meliput di Pemerintahan saling menjatuhkan dan kemudian saling tidak senang dengan yang lainnya.
Tapi intinya adalah, bahwa ketika seorang wartawan sudah ketagihan menerima upah dari perjalanan Dinas atau dari peliputan pada instansi Pemerintah, maka kebebasan dia sebagai wartawan akan hilang. Wartawan dalam kelompok ini disebut wartawan plat merah, mereka akan cenderung mengangkat hal-hal baik, tetapi ketika mengetahui hal yang buruk dalam sistem birokrasi Pemerintahan, itu tidak akan diusik, mereka akan abaikan. Hal yang sama juga berlaku di lingkup Pemerintahan Kabupaten dan Kota.
Ini persoalan yang terjadi pada kami wartawan di Jayapura, dan dampaknya cukup luas. Bukan saja di birokrasi pemerintahan, tapi juga terjadi di legislatif , di pihak swasta bahkan TNI/Polri. Saat demo, kami bersatu, tetapi sebenarnya kami pura-pura supaya kami tetap diakui sebagai wartawan. Saat selesai mengetik satu berita, kami membagi berita itu supaya kami dianggap baik, padahal hanya pura-pura baik.
“Boo kaka, macam ko serius sampai”…ah trada ade, kaka cuma pura-pura saja. Tapi intinya itu ada pada diri masing-masing orang yang menganggap diri wartawan dan juga perusahaan media dari wartawan yang bersangkutan. Apa yang harus dilakukan perusahaan? Ya, harus sering lakukan rolling, dan diberikan penugasan pada objek yang lain dalam jangka waktu tertentu. Bagaimana dengan wartawan yang tidak diawasi langsung oleh perusahaannya? hal itu menjadi tanggung jawab bersama, baik sebagai sesama profesi maupun dalam organisasi pers untuk dipertanggung jawabkan kepada pihak-pihak yang merasa dirugikan.
“Kaka, jadi saya juga termasuk dalam kelompok yang merasa dirugikan kah?” Ya, kalau ko punya pacar yang wartawan itu melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan, lalu dia tidak bertanggung jawab, ko bisa lapor to…tapi bukan ke dewan pers, mungkin ko lapor saja ke Polisi. “Ah kaka, saya serius ini, tapi benar juga jadi wartawan itu enak e,artinya berani berbuat, tapi tidak perlu kuatir untuk tanggung jawab, karena dekat dengan Polisi to”. Tapi, ade ko tidak usah takut, karena orang bilang, suami paling baik adalah seorang Jurnalist! Salam buat ko punya paitua wartawan, mau tanggapi atau tidak terserah, yang jelas, saya cuma pura-pura menulis untuk refleksi hari pers , 9 Februari 2013. Semoga pers di Papua tidak berada dalam kepura-puraan…(abyomo)