Saturday, June 23, 2012

Aku Bangga, Ayahku Penata Tari Tradisional


Ayah, diantara mereka yang muda
Ayah, mencintai tarian tradisional, mengajak generasi muda, agar tidak melupakan seni budayanya

Sabtu (16/6) pagi itu cuaca sangat cerah, aku memutuskan untuk pulang kampung ( Desa ) menengok ayah, ibu serta adik dan beberapa keponakkanku yang lucu-lucu. Karena, semenjak aku menikah dan sudah bekerja, bersama istri dan anakku, kami menetap di Abepura, Kota Jayapura, Provinsi Papua, sehingga sangat jarang berkunjung ke kampung Ayapo,tempat kelahiranku untuk menengok ayah dan ibu, walau hari libur sekalipun. Padahal, jarak antara tempat tinggalku di Kota dan kampung Ayapo di pinggiran Danau Sentani, kurang lebih 15 kilometer, dan bisa ditempuh dalam waktu 30 menit.
Penerimaan sinyal televisi maupun sinyal telepon seluler sangat baik di kampungku ini, tapi aku sengaja tak menelepon kedua orangtuaku memberitahukan rencana kedatanganku itu. Hal itu aku lakukan, karena tidak ingin merepotkan ibu menyiapkan makanan kesukaanku, karena begitulah kebiasaan ibuku kalau tau aku akan datang.
Aku berangkat  sendiri jam 9.00 Wit menggunakan motor beat kesayanganku menuju Sentani, karena jalan tak begitu ramai dengan kendaraan, hanya 20 menit, aku tiba di pantai Khalkote, dermaga penyeberangan speedboat ke kampungku. Karena aku ingin cepat, maka aku mencarter speedboat Rp 50 Ribu mengantarku ke kampung, dan hanya 10 menit, aku sudah tiba di kampung Ayapo.
Ibuku kaget melihat kedatanganku. “ Kenapa tidak kase tau (beritahu) mama, kalau mau ke kampung?seru ibuku, sambil mengeluh, kalau di rumah lagi tidak ada sagu dan ikan, cuma nasi dan sayur labu yang sudah siap disantap. Mamaku ngomong begitu, karena tahu, kalau aku paling suka makan papeda dan ikan, baik yang dibakar atau dikuah kuningkan.
Bapa di mana?sahutku, lalu mamaku menjelaskan, kalau Ayahku sedang sibuk mempersiapkan pakaian tarian dan beberapa bahan dan alat lainnya untuk dipakai seorang penari, saat pementasan di pembukaan Festival Danau Sentani, Selasa (19/6) yang tinggal dua hari lagi.” Itu bapa lagi di belakang sana ( belakang rumah ),” seru ibuku. Lalu aku berjalan melihat apa yang sedang dikerjakan Ayahku, ternyata Ayah sedang membentuk sebuah cawat atau rumba-rumbai (pakaian bawah penari laki-laki ) yang terbuat dari kulit kayu yang sudah diurai menjadi tali-tali halus.
Dengan senyumnya yang khas, Ayah melepaskan pekerjaannya yang sudah hampir selesai itu, dan menatapku.”Mehemakhai  khelfa?haugi waneng?,”tanya Ayahku dengan Bahasa Sentani yang artinya; Bagaimana anakku(laki-laki), ada sesuatu yang membuat, sampai kamu datang ke kampung?.” Nasong-song yaa...haugibaamm ( Saya cuma jalan-jalan aja, bukan karena ada sesuatu),” balasku.
Sambil memandang ke arah pakaian penari yang hampir diselesaikan, Ayah mengungkapkan, kalau bapa akan memimpin 60 penari muda dari kampung untuk meramaikan tarian perang di atas air ( Felabhe ),pada pembukaan Festival Danau Sentani V di khalkote, Sentani- Papua.  karena itu, Ayahku siapkan segala aksesoris yang akan digunakan pada acara tersebut.
“Tarian perang ( Felabhe) ini, akan diikuti oleh ratusan penari dari 24 kampung ( desa ) di Danau Sentani, dan kita dari kampung Ayapo akan mengikutsertakan 60 penari muda, yang terdiri dari pelajar SMP dan SMA, bapa sudah cek kesiapan semua peserta, mereka siap tampil dan mempersembahkan yang terbaik, demi budaya Sentani ini tetap lestari,”ujar Ayahku.
Kata Ayahku, tarian ini(felabhe) memang sudah lama tidak diangkat, jadi ini merupakan kesempatan yang baik bagi kita orang tua, untuk menunjukkan kepada anak muda generasi baru yang ada di danau sentani, bahwa inilah tarian kita, tarian perang yang memiliki semangat luar biasa, yang dapat mengalahkan lawan-lawan, dan semangat inilah yang harus terus terpatri di dada generasi muda, untuk tetap menjaga dan melestarikan budaya kita. Setelah berdiskusi dengan Ayah dan Ibu, serta bercanda ria dengan dua keponakkanku, aku minta pamit untuk kembali ke kota, lalu Ayah berpesan, agar pada pembukaan FDS V, dapat meluangkan waktu untuk menyaksikan atraksi demi atraksi yang akan dipersembahkan oleh orang-orang Sentani.
Pada Selasa(19/6), jam di dinding menunjukkan pukul 08.45 Wit, aku berangkat dari Abepura menuju Sentani, dan tiba jam 9.15 Wit di pantai Khalkote, pusat kegiatan FDS V. Seremonial pembukaan belum mulai, tetapi pantai khalkote itu sudah dipadati masyarakat dari berbagai tempat, berbagai daerah, berbagai suku dan beberapa turis dari luar negeri.
Tepat jam 10.00 Wit, seremonial pembukaan FDS V dimulai, diawali oleh laporan Ketua Panitia, kemudian dilanjutkan sambutan seorang kepala suku dari sentani, setelah itu, sambutan penjabat Bupati Kabupaten Jayapura, dan sambutan terakhir disampaikan oleh Menteri Pariwisata Indonesia yang diwakili oleh salah satu Dirjennya, sekaligus membuka dengan resmi dimulainya Festival danau Sentani V itu.
Siang itu, matahari bersinar terlalu terik. Namun hal itu tak menyurutkan semangat warga di sekitar Danau Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, untuk melangsungkan Felabhe. Tari perang ini menjadi pembuka Festival Danau Sentani 2012. Salah satu alasan mereka memenuhi tempat ini adalah Felabhe. Ini adalah tari perang khas masyarakat di sekitar Danau Sentani.
Seorang penyanyi mulai melantunkan lagu adat berirama menghentak. Awalnya, pandangan saya tertuju pada seorang pemimpin perang yang mengenakan Khombou, pakaian adat Papua dengan rok berbahan jerami. Sang pemimpin perang membawa tombak panjang, berjalan di jembatan sambil menghentakkan kaki sesuai irama.
Tiba-tiba, muncullah kapal-kapal dari kejauhan. Ada sekitar 7-8 kapal yang membelah Danau Sentani, menuju ke arah para penonton di Kalkhote. Ada lebih dari 500 orang yang memenuhi kapal-kapal itu. Mereka berasal dari 24 desa berbeda di sekitar Danau Sentani.
Kapal-kapal itu seluruhnya berisi pria, yang juga mengenakan Khombou. Ada yang membawa tombak, ada pula yang memegang busur panah. Mereka ikut menyanyi lagu adat, mengarahkan busur panah ke berbagai arah. Lalu sinar matahari yang sangat terik itu menjadi salah satu bagian perpaduan yang apik: tarian, nyanyian, danau, langit biru, serta bukit-bukit hijau yang melatarbelakangi mereka semua. Indah.
Satu per satu kapal bersandar ke jembatan. Para pasukan perang pun turun dan mulai melakukan gerakan yang sama dengan sang pemimpin: menyanyi sambil menghentakkan kaki. Rupanya tak hanya lelaki dewasa, tapi juga anak-anak yang sangat lucu dan sumringah, mengacung-acungkan tombak kayu sesuai ukuran tubuh mereka.
Jembatan kayu itu lalu penuh oleh para pasukan perang. Dengan aba-aba, mereka berlari menuju depan panggung utama yang sebelumnya digunakan untuk pembukaan FDS. Sambil menyanyi dan menari, mereka membentuk barisan. Irama lagu pun semakin lama semakin cepat. Mereka menari cukup lama, sekitar setengah jam.
Dalam salah satu barisan para penari itu, mataku menangkap salah seorang pria paruh bayah yang umurnya 57 tahun, kepalanya gundul, mengenakan anyaman daun kelapa muda melingkari kepala. Mukanya dicoret-coret dengan arang, demikian pula di badannya, dan mengenakan khombou, serta ditangannya memegang busur dan sebuah anak panah dari kayu, bergoyang sambil menyanyikan lagu khas untuk felabhe yang seirama dengan 500 penari lainnya. Ternyata, pria paruh baya itu adalah Ayahku,seorang pria tua yang berada diantara 60 penari muda dari kampung kami.Seperti tak merasakan pilunya sengatan matahari, ayahku tetap bersemangat hingga bermandikan keringat.
Aku tertegun melihat penampilan Ayahku yang begitu luar biasa, bersemangat dan tidak mengenal lelah, tidak merasakan perihnya sengatan matahari. Namun, yang ada diwajah Ayahku adalah berbagi senyum dengan penari lainnya, seperti sedang bermain-main dalam sebuah latihan perang. Luar biasa Ayahku, diantara mereka yang muda, tetap bersemangat, mencintai budaya dan seni tari tradisional kita. Dalam hati, aku katakan, Aku bangga padamu Ayah.
Para wisatawan tak menyia-nyiakan hal ini dengan cara berfoto bersama. Para penari pun dengan ramah meminjamkan tombak atau busur panah mereka. Saat aba-aba kembali diteriakkan, mereka semua kembali berlari ke jembatan.
"Sekali pun aku mati, aku tak akan menyesal jadi orang Sentani!" teriak penyanyi yang memberi aba-aba barusan. Kalimat yang diteriakkan itu berhasil jadi suplemen bagi para pasukan perang. Mereka semakin semangat menari, walaupun matahari semakin terik. Di tengah siksaan matahari itu, seketika saya merinding.
Tapi tunggu dulu, rupanya Felabhe belum selesai. Setelah kembali berbaris di jembatan, kapal-kapal lain datang dari kejauhan. Setelah kapal-kapal itu mendekat, saya pun sadar kalau isinya semua perempuan!
Rupanya tarian perang ini berakhir dengan sukacita. Para pasukan yang memenangkan perang lalu dijemput oleh wanita-wanita terkasihnya, yang mengenakan Khombou dan membawa balon warna-warni di tiap kapal. Balon warna-warni itu pun dilepas ke udara, pertanda kebahagiaan di akhir cerita.
Para pengunjung bersorak-sorai. Tak ada yang menyangka, sebuah tarian perang berujung bahagia layaknya dongeng. Namun, Felabhe menyiratkan
sebuah makna bahwa masyarakat Sentani telah berhasil melewati masa-masa sulit hingga sekarang disambut dengan sukacita oleh seluruh dunia. Tari perang yang gagah ini berhasil membuat wisatawan tepuk tangan cukup lama.( alberth yomo)


Wednesday, June 20, 2012

Bersama Ketinting Tour Keliling Danau Sentani


















Gagahnya Felabhe, Memukau Ribuan Wisatawan

Penari Felabhe

Simulasi perang ( felabhe )oleh 500 lebih penari dari 24 kampung di danau sentani
Siang itu, matahari bersinar terlalu terik. Namun hal itu tak menyurutkan semangat warga di sekitar Danau Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, untuk melangsungkan Felabhe. Tari perang ini menjadi pembuka Festival Danau Sentani 2012.

Saya tak sangsi lagi akan anggapan bahwa Papua punya sembilan matahari. Pada Selasa (19/6/2012) kemarin, mata saya sampai sakit dibuatnya. Sepuluh menit berdiri di bawah sinar matahari lalu kulit saya mulai memerah. Namun, saya bukanlah satu-satunya orang yang merasakan siksaan matahari siang itu.

Saya berada di antara ribuan orang yang menghadiri pembukaan Festival Danau Sentani (FDS) 2012. Warga lokal, pemerintah daerah, juga wisatawan domestik dan mancanegara berbondong-bondong memenuhi Kawasan Wisata Kalkhote Danau Sentani yang terletak di Kabupaten Jayapura, Papua.

Salah satu alasan mereka memenuhi tempat ini adalah Felabhe. Ini adalah tari perang khas masyarakat di sekitar Danau Sentani. Konon, kegagahan tari ini menggaet banyak wisatawan dari luar negeri. 

Seorang penyanyi mulai melantunkan lagu adat berirama menghentak. Awalnya, pandangan saya tertuju pada seorang pemimpin perang yang mengenakan Khombou, pakaian adat Papua dengan rok berbahan jerami. Sang pemimpin perang membawa tombak panjang, berjalan di jembatan sambil menghentakkan kaki sesuai irama.

Tiba-tiba, muncullah kapal-kapal dari kejauhan. Ada sekitar 7-8 kapal yang membelah Danau Sentani, menuju ke arah para penonton di Kalkhote. Ada lebih dari 500 orang yang memenuhi kapal-kapal itu. Mereka berasal dari 24 desa berbeda di sekitar Danau Sentani.

Kapal-kapal itu seluruhnya berisi pria, yang juga mengenakan Khombou. Ada yang membawa tombak, ada pula yang memegang busur panah. Mereka ikut menyanyi lagu adat, mengarahkan busur panah ke berbagai arah. Lalu sinar matahari yang sangat terik itu menjadi salah satu bagian perpaduan yang apik: tarian, nyanyian, danau, langit biru, serta bukit-bukit hijau yang melatarbelakangi mereka semua. Indah.

Satu per satu kapal bersandar ke jembatan. Para pasukan perang pun turun dan mulai melakukan gerakan yang sama dengan sang pemimpin: menyanyi sambil menghentakkan kaki. Rupanya tak hanya lelaki dewasa, tapi juga anak-anak yang sangat lucu dan sumringah, mengacung-acungkan tombak kayu sesuai ukuran tubuh mereka.

Jembatan kayu itu lalu penuh oleh para pasukan perang. Dengan aba-aba, mereka berlari menuju depan panggung utama yang sebelumnya digunakan untuk pembukaan FDS. Sambil menyanyi dan menari, mereka membentuk barisan. Irama lagu pun semakin lama semakin cepat. Mereka menari cukup lama, sekitar setengah jam.

Para wisatawan tak menyia-nyiakan hal ini dengan cara berfoto bersama. Para penari pun dengan ramah meminjamkan tombak atau busur panah mereka. Saat aba-aba kembali diteriakkan, mereka semua kembali berlari ke jembatan.

"Sekali pun aku mati, aku tak akan menyesal jadi orang Sentani!" teriak penyanyi yang memberi aba-aba barusan. Kalimat yang diteriakkan itu berhasil jadi suplemen bagi para pasukan perang. Mereka semakin semangat menari, walaupun matahari semakin terik. Di tengah siksaan matahari itu, seketika saya merinding.

Tapi tunggu dulu, rupanya Felabhe belum selesai. Setelah kembali berbaris di jembatan, kapal-kapal lain datang dari kejauhan. Setelah kapal-kapal itu mendekat, saya pun sadar kalau isinya semua perempuan!

Rupanya tarian perang ini berakhir dengan sukacita. Para pasukan yang memenangkan perang lalu dijemput oleh wanita-wanita terkasihnya, yang mengenakan Khombou dan membawa balon warna-warni di tiap kapal. Balon warna-warni itu pun dilepas ke udara, pertanda kebahagiaan di akhir cerita.

Para pengunjung bersorak-sorai. Tak ada yang menyangka, sebuah tarian perang berujung bahagia layaknya dongeng. Namun, Felabhe menyiratkan
sebuah makna bahwa masyarakat Sentani telah berhasil melewati masa-masa sulit hingga sekarang disambut dengan sukacita oleh seluruh dunia. Tari perang yang gagah ini berhasil membuat wisatawan tepuk tangan cukup lama.( Oleh: Sri Anindiati Nursastri - detikTravel )