Thursday, July 28, 2011

Mengikuti Perjalanan Menelusuri Pantai Barat Sarmi Hingga Apawer Hulu

Ketika perahu tak mampu menghadapi gelombang laut, kami menepi ke pantai, mengurangi muatan.

Lebih dari Dua Minggu,  bersama 4 orang staf peneliti dari Yayasan Lingkungan Hidup Papua ( dengan tujuan berbeda ) melakukan perjalanan ke kampung-kampung yang berada di sepanjang sungai Apawer Kabupaten Sarmi. Dari perjalanan itu,  ada sejumlah hal yang kami rekam, lalu kami coba tuangkan dalam bentuk tulisan berikut….

Laporan : Alberth Yomo

Kami baru sadar, bahwa ternyata tidak mudah untuk melakukan perjalanan ke wilayah di sepanjang sungai Apawer. Dari Jayapura (Jumat,1/7), kami menghabiskan waktu 9 Jam perjalanan menggunakan mobil Rental Jenis Avansa ( Full Tangki ) untuk sampai di Ibukota Kabupaten Sarmi. Perjalanan sejauh 300 kilometer itu, sebenarnya dapat ditempuh dalam waktu 6 jam saja, namun karena kondisi jalan dan jembatan yang belum baik, di tambah lagi dengan pungutan liar sejumlah warga dengan dalih memperbaiki jalan di beberapa titik yang kami lewati, akhirnya molor hingga empat jam.
Bermalam di Ibukota Kabupaten Sarmi, paginya( Sabtu,2/7) kami harus mempersiapkan bahan bakar minyak(bbm) untuk perjalanan ke Apawer. Tapi sial, BBM ( Bensin ) yang dibutuhkan sebanyak 600 liter (pulang dan pergi Sarmi-Apawer Hulu ) tidak kami dapati, karena BBM yang tersedia di Agen sudah habis terjual, kami di suruh bersabar tiga hari. Setelah tiga hari menungguh, Selasa(5/7) kami berhasil mendapatkan 600 liter bensin, tapi itupun kami terpaksa keluarkan biaya yang cukup besar dari harga seharusnya, di mana harga sebenarnya, Rp 4500/liter, di jual kepada kami dengan harga Rp 10000/liter. Kami syukuri aja, karena BBM ini jadi rebutan para pengecer, sehingga stok tiba, langsung habis dalam sehari.
Setelah BBM siap, perahu laut dan motoris yang kami sewa sebesar Rp 5 Juta juga telah siap, paginya( Rabu,6/7), setelah melihat cuaca dan keadaan laut cukup kondusif, kami keluar dari pantai Sarmi menuju Apawer. Baru satu jam lepas dari pantai Sarmi, motor tempel jenis Yamaha engine 40 PK, yang menggerakkan perahu kami, tiba-tiba mati. Setelah diperbaiki kerusakan itu, motor kembali bunyi dan perjalanan dilanjutkan. Tetapi satu jam kemudian, motor kembali mati, kami berlabuh di laut hingga satu jam, namun mesin motor yang diperbaiki tak kunjung sembuh dari penyakitnya. Beruntung ada pertolongan dari motoris lainnya yang datang membantu, sehingga kami bisa kembali melanjutkan perjalanan itu.
Akibat terhambat beberapa jam karena masalah mesin itu, laut semakin bergelombang, perahupun dihempas ombak, semua penumpang basah dan perahupun kemasukkan air yang cukup banyak. Gelombang laut semakin tinggi dan anginpun semakin kencang, perahu yang bermuatan tidak mampu mengimbanginya, terpaksa perahu berbelok haluan menuju pantai, untuk mengurangi muatan. Seluruh penumpang yang berjumlah 14 orang termasuk kami, terpaksa harus berjalan kaki menyusuri pantai, hanya menyisahkan seorang motoris dan dua pembantunya untuk melanjutkan perjalanan itu menantang gelombang.
Muara sungai Apawer yang jaraknya 25 kilometer itu, kami tempuh selama 7 jam (12.00-19.00 Wit ) berjalan kaki menyusuri pantai barat Kabupaten Sarmi. Kami kemudian bermalam melepaskan lelah di Kampung Subu yang berada tepat di muara sungai Apawer. Mie dan Kopi Instan menjadi pengganjal perut dan penghangat tubuh, tidurpun tak nyenyak, karena ditemani sang nyamuk dan teman-temannya hingga pagipun datang.
Ketika berbincang-bincang dengan beberapa masyarakat di Kampung Subu Distrik Arbais Kabupaten Sarmi ini, mereka menuturkan, bahwa setiap tahun, Kampung Subu mendapat jatah Rp 300 Juta, bersumber dari Dana Pemberdayaan Kampung Rp 200 Juta dan dana Respek Rp 100 Juta. Tapi sayangnya, orang-orang yang dipercayakan masyarakat kampung untuk mengelolah dana ini, berlaku curang dan tidak adil, sehingga hasilnya juga belum optimal.
Meski demikian, Kampung yang dipimpin oleh Noac Emtora ini kini sudah memiliki motor tempel,genset, speed boat, bantuan jaring penangkap ikan, perumahan sosial, biaya hidup, biaya pendidikan dan fasilitas lainnya yang bersumber dari dana Pemberdayaan Kampung dan Dana Respek.
Salah satu warga yang enggan menyebutkan namanya, mengungkapkan, bahwa semua bantuan yang diberikan, termasuk program Respek, tidak dilakukan secara terbuka, kesannya di atur sepihak oleh oknum-oknum tertentu, sehingga ia berharap, perlu dilakukan evaluasi kembali, agar yang tidak beres ini bisa diluruskan, dan masyarakat bisa merasakan program ini. ( bersambung )